Latar Belakang Lahirnya Pemerintahan Orde Baru

Halo kali ini admin akan membahas tentang Latar Belakang Lahirnya Pemerintahan Orde Baru. Materi ini merupakan pelajaran sejarah yang telah saya pelajari di kelas XII SMA. Artikel ini juga merupakan lanjutan dari Lahirnya Pemerintahan Orde Baru. Baiklah langsung saja mari kita simak materi nya dibawah ini,
latar Belakang Lahirnya Pemerintahan Orde Baru


Latar Belakang Lahirnya Pemerintahan Orde Baru
Usaha untuk penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh banyak pihak. Selain pemerintah, masyarakat juga ikut menumpas PKI. Kesatuan aksi yang muncul untuk menentang G-30-S/PKI diantara nya adalah Kesatuan Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).

Kesatuan-kesatuan aksi yang bergabung dalam front pancasila tersebut lebih dikenal dengan sebutan angkatan '66. Mereka mengadakan demonstrasi di jalan-jalan. Aksi demontrasi Angkatan '66 tersebut terjadi kemudian diarahkan ke Gedung Sekretariat Negara. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 8 Januari 1966 dengan agenda utamanya menuntut perbaikan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.

Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang bergabung dalam Front Pancasila berkumpul di halaman Gedung DPR GR untuk mengajukan trituntutan rakyat (tritura). Isu tritura yaitu pembubaran PKI beserta organisasi massanya, pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur PKI, dan penurunan harga-harga barang.

Dalam menghadapi berbagai tuntutan dari masyarakat tersebut, maka pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor yang dihadiri oleh para wakil mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa tersebut didalangi oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat.

Tuntutan mengenai perombakan kabinet dikabulkan. Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet. Ternyata perubahan kabinet itu tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G-30-S/PKI berada di dalam kabinet baru yang dikenal dengan sebutan Kabinet Seratus Menteri.

Pada saat pelantikan kabinet tanggal 24 Februari 1966 para mahasiswa, pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan antara Pasukan Cakrabirawa dan para demonstran yang menyebabkan gugurnya seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh para demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.

Sebelumnya, antara Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto terjadi ketidaksepakatan mengenai penyelesaian krisis politik yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 2 Oktober 1965 pasca peristiwa G-30-S/PKI. Letjen Soeharto berpendapat bahwa satu-satunya langkah keluar untuk meredakan krisis dalam negeri adalah menumpas PKI beserta antek-anteknya, dengan cara tersebut maka rasa keamanan dan keadilan rakyat akan terpenuhi.

Adapun Presiden Soekarno berpendapat bahwa pembubaran PKI mustahil dilakukan karena akan menimbulkan inkonsistensi terhadap pelaksanaan prinsip Nasakom (nasionalis-agama-komunis) yang telah menjadi dasar pemikiran politik Indonesia pada saat itu.

Menghadapi situasi yang demikian, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Maret 1966. Pertemuan tersebut dihadiri oleh berbagai partai politik, seperti PSII, NU, PI, Perti, Partai Katolik, Parkindo, Muhammadiyah, PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.

Dalam pertemuan tersebut presiden didampingi oleh A.M Hanafi (duta besar Republik Indonesia untuk Kuba), dr. Sumarno (menteri dalam negeri), Dr. Subandrio (wakil perdana menteri), Dr. j. Leimena, Mayjen Achmandi (menteri penerangan), dan Dr. Chairul Saleh. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi massa yang hadir pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan tuntutan trituranya. Pertemuan tersebut berkahir dengan deadlock karena keinginan Presiden Soekarno berseberangan dengan permintaan Front Pancasila terutama mengenai pembubaran PKI.

Pada tanggal 11 Maret 1966 digelar sidang paripurna yang agendanya adalah merumuskan langkah-langkah keluar dari krisis ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Di tengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno diberi tahu oleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur bahwa ada konsentrasi pasukan tidak dikenal yang berada diluar istana.

Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana Bogor didampingi olej Waperdam I Dr. Subandrio dan Waperdam III Dr. Chairul Saleh. Dr. J. Leimena (Waperdam II) kemudian menutup rapat sidang menyusul Presiden Soekarno ke Istana Bogor.

Selanjutanya para perwira tinggi Angakatan Darat yang terdiri dari Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen M. Yusuf juga menyusul ke Bogor. Namun, sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharti dan melaporkan tentang keaadaan sidang kabinet dan meminta izin untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan liar di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI Angkatan Darat tetap setia dan taat kepada presiden Soekarno.

Letjen Soeharto mengizinkan ketiga perwira tinggi tersebut ke Istana Bogor dan berpesan untuk disampaikan kepada presiden Soekarno bahwa Letjen Soeharto sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden memercayakan hal tersebut kepadanya.

Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud setelah tiba di Istana Bogor, kemudian mengadakan pertemuan dengan presiden Soekarno yang didampingi oleh Dr. J. Leimena, Dr. Subandrio, dan Dr. Chairul Saleh. Dalam pertemuan tersebut, presiden Soekarno memerintahkan kepada Perwira Tinggi Angkatan Darat berasama komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang ditujukan kepada Letjen Soeharto.

Surat tersebut berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan dan krisis politik yang terjadi pada saat itu. Surat itulah yang dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.

 Supersemar memerintahkan kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.