Hukum Penggunaan Dua Akad dalam Satu Transaksi

Penggunaan dua akad dalam satu transaksi adalah transaksi yang sering digunakan oleh bank syariah, sering menuai keraguan karena nabi Muhammad melarang adanya dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.

Pasal 2 UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah yaitu perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya salah satunya mengandung asas tentang prinsip syariah dan berdasarkan hadits al-musnad yang menyatakan “nabi Muhammad SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatain)”

Menurut hasil wawancara dengan Agus Tomi selaku praktisi bank yang berasal dari Bank Mandiri Syariah menyatakan bahwa 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tersebut tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hadist yang ada dan secara hukum Syar’i transaksi tersebut dapat menyebabkan dosa karena mengandung riba.

Penelitian menunjukan penggunaan dua akad dalam satu transaksi pada bank syariah diperbolehkan jika mengandung unsur kemaslahatan dan tidak menggabungkan akad tabarru dan akad tijarah karena sifatnya berlawanan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. H. Mawardi As, selaku ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung berpendapat bahwa akad dan transaksi memiliki status dan kedudukan yang saling menguatkan, sehingga dengan adanya 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tersebut boleh saja dilakukan tetapi transaksi tersebut harus mengandung unsur kemashalatan (terdapat manfaat).
penggunaan dua akad dalam satu transaksi

Perjanjian 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi ini diperbolehkan apabila sesuai dengan pendapat-pendapat dari Ulama yang menyatakan bahwa multi akad yang menggabungkan yang sifatnya berlawanan adalah haram yaitu jika menggabungkan akad tabarru dan akad tijarah.

Akad tabarru ini memiliki arti segala macam perjanjian atau akad yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan atau tidak bersifat komersil, sedangkan akad tijarah adalah segala macam perjanjian atau akad yang menyangkut transaksi yang bertujuan untuk mengejar keuntungan yang bersifat komersil. Hal-hal secara lahiriah yang melarang 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan transaksi ini dilarang jika disertai unsur keharaman.

Status dan kedudukan dari penggunaan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi adalah sah karena hal tersebut tidak dilarang praktiknya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan menurut Hukum Islam berdasarkan dalil dari Imam Asyhab dan dari mazhab Maliki, pendapat Imam Taimiyah dari mazhab Hambali, dan pendapat Imam At-Tasuli.

Menurut pendapat dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Lampung yakni Drs. H. Mawardi As. menyatakan bahwa adanya praktik 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tersebut diperbolehkan namun harus mengandung unsur kemashalatan (manfaat), sehingga penggunaan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi sering digunakan di Bank Syariah yang ada di Indonesia.

Macam-macam akad yang dapat digunakan dalam praktik 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tersebut antara lain: Akad murabahah, akad ijarah, akad mudharabah, akad bai bithaman ajil, akad musyarakah, akad al-qardul hasan, akad salam, akad istishna, akad hawalah atau hiwalah. Menurut praktisi bank yaitu Agus Tomi yang berpendapat bahwa pelaksanaan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi tersebut tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hadist yang ada dan secara hukum Syar’i dapat menimbulkan dosa karena mengandung riba, dimana riba itu hukumnya adalah haram.

Akibat hukum yang ditimbulkan dari pelaksanaan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi yaitu pelanggaran yang dilakukan bersifat perdata maka sanksi yang berlaku bersifat perdata, dan jika pelanggaran yang terjadi bersifat pidana maka hal tersebut dapat langsung diajukan ke Pengadilan Negeri.

Apabila Bank Syariah tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan bentuk-bentuk sanksi administratif itu diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Pihak yang melanggar kesepakatan dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak nasabah dan pihak bank pada saat pertama kali perjanjian diadakan.

Jadi, berdasarkan Hadist Rasullah SAW yang melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) namun praktik ini banyak dilakukan di Bank Syariah yang terdapat di Indonesia, karena hal ini tidak dilarang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan diperkuat dengan pendapat dari beberapa praktisi serta berdasarkan dalil dari Imam Asyhab dan dari mazhab Maliki, pendapat Imam Taimiyah dari mazhab Hambali, dan pendapat Imam At-Tasuli yang memperbolehkan terlaksananya transaksi ini.

Seharusnya terdapat peraturan hukum tertulis yang jelas tentang diperbolehkan atau tidak mengenai berlangsungnya transaksi ini. Akan lebih baik jika Pemerintah Republik Indonesia menuliskan secara tegas mengenai hukum praktik 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi diperbolehkan atau tidak, seperti
mengamandemen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah agar pihak nasabah dan pihak Bank Syariah tidak menemui keraguan  dan perdebatan dalam melaksanakan transaksi tersebut karena tidak sedikit masyarakat yang kurang mengerti secara jelas akan hal tersebut.
Agar tidak terjadi pelanggaran sepihak atau wanprestasi dalam pelaksanaan 2 (dua) akad dalam 1 (satu) transaksi yang dapat merugikan pihak lainnya maka pengaturan akibat hukum yang akan diterima sebaiknya diatur lebih jelas dan lebih tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia agar tidak ada lagi salah satu pihak yang membatalkan perjanjian tersebut demi kepentingan pribadi karena dalam hukum Islam apabila seseorang telah menyetujui adanya perjanjian maka selama hal isi perjanjian belum dilaksanakan atau
dipenuhi maka pihak yang belum memenuhi isi perjanjian tersebut masih memiliki hutang.